Pasuruan | Jurnaljawapes.com - Kecelakaan pada Selasa (7/5/2024), antara Kereta Api Pendalungan kelas eksekutif Jakarta - Banyuwangi, dan R4 jenis kijang LGX di desa patuguran, Rejoso, Kabupaten Pasuruan. Kecelakaan maut itu terjadi pada pukul 08.41 WIB. Empat orang tewas dua diantaranya luka luka dan di rawat di RS Rejoso.
Dari berbagai himpunan informasi yang didapatkan bahwa sopir kendaraan kijang LGX sudah di peringati oleh warga namun tetap melintas dan terhenti di tengah rel kereta. Walhasil akhirnya tertabrak kereta api di bagian tengah kendaraan. Berarti, supir kijang LGX dengan nomor polisi N 1475 WU yang di kemudian oleh saudara M Rofik Abdillah mengetahui akan ada KA melintas. tetapi naas perhitungan sopir meleset hingga akhirnya tertabrak kereta api, Rabu (8/5).
Kecelakaan seperti di atas bukan jarang terjadi. Sangat sering terjadi kecelakaan antara kereta api dan kendaraan bermotor, baik roda 2 maupun roda 4. Mayoritas kecelakaan karena pengendara kendaraan bermotor lalai tidak mendahulukan kereta api melintas. Sangat menyedihkan karena kecerobohan sopir yang menerobos pelintasan kereta, kemudian penumpangnya menjadi korban.
Adapun tataran kronologi jenis pelanggaran di JPL diambil dan mengutip dari berbagai sumber bahwa kecelakaan di JPL dapat terjadi dimulai dari:
1. Pengendara tidak melihat kanan-kiri ruang bebas rel KA bila mau melintasi JPL
2. Memaksa melintas JPL saat bel sudah berbunyi
3. Tetap melintas JPL saat palang pintu mulai bergerak turun
4. Menerobos JPL pada saat palang pintu tertutup sempurna sebelum kereta datang
5. Kendaraan berhenti melewati batas palang pintu ketika telah tertutup
6. Tetap menerobos JPL saat palang pintu tertutup sempurna setelah kereta api datang
7. Menerobos di saat palang pintu belum terbuka sempurna dan alarm masih berbunyi
8. Melawan arus lalu lintas
Untuk penindakan hukum yang ketat dan edukasi di JPL, kiranya sangat diperlukan CCTV untuk tilang ETLE di JPL bagi yang melanggar.
Pelanggaran lalu lintas di JPL dapat ditilang karena dalam Pasal 114 UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan pada pelintasan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pengemudi kendaraan wajib mendahulukan kereta api dan memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.
Dalam UU 23/2007 tentang Perkeretaapian dan UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terdapat kesamaan beleid keselamatan, yakni kendaraan apa pun harus mendahulukan kereta api yang akan melintas.
Kedua UU ini mengatur masing-masing angkutan jalan dan angkutan kereta api. Kedua UU tersebut bertemu ketika terjadi kecelakaan di JPL karena kereta api dan kendaraan angkutan jalan bertemu.
Maka, istilahnya dalam kereta api bukan menabrak kendaraan, tetapi kendaraan tertemper kereta api karena kereta api punya jalur sendiri di rel yang dilanggar kendaraan lain.
Akan hal ini PT KAI berhak menuntut kepada siapa saja yang menghalangi jalur rel yang dilintasinya sehingga menimbulkan kecelakaan, kerusakan sarana KA dan kerugian pelayanan.
Dalam Pasal 181 UU 23/2007 tentang Perkeretaapian telah digariskan juga bahwa setiap orang dilarang berada di ruang manfaat jalur kereta api dan dilarang menggunakan jalur kereta api untuk kepentingan lain, selain untuk angkutan kereta api.
Sementara Pasal 94 dengan tegas menyatakan bahwa untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan, pelintasan sebidang yang tidak mempunyai izin harus ditutup. Penutupan pelintasan sebidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Dengan perintah UU tersebut, diharapkan pemerintah/pemerintah daerah lebih banyak menutup JPL liar atau lebih berani menutup semua JPL liar atau JPL tidak resmi. JPL yang tidak resmi harus ditutup mengingat 71 persen JPL tidak terjaga (tanpa penjaga).
Evaluasi pelintasan JPL dapat melalui audit keselamatan secara berkala. Audit keselamatan dapat dilakukan tiap bulan atau tiga/enam bulan atau satu tahun. Bila ada JPL hazard yang sering terjadi kecelakaan, dapat diaudit keselamatannya tiap bulan. Mitigasi kecelakaan di JPL dapat dilakukan dengan sosialisasi/edukasi, penutupan JPL liar/tidak resmi, dibangun palang pintu, dibangun frontage road, membangun JPO, membangun pelintasan tidak sebidang, pemasangan alat/sensor/sinyal keselamatan JPL.
Jadi siapa yang bertanggung jawab?
Ketika terjadi kecelakaan kendaraan bermotor di jalan raya/jalan tol, dapat dikatakan sebagai kecelakaan jalan karena mengacu pada UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kecelakaan di kereta api, baik tabrakan antar-KA maupun anjlok, juga dinamakan kecelakaan kereta api karena sesuai aturan dalam UU 23/2007 tentang Perkeretaapian.
Namun, jikalau terjadi kecelakaan antarkereta api dengan kendaraan bermotor di JPL, masih menjadi perdebatan sebagai kecelakaan kereta api atau kecelakaan jalan. Jika merujuk pada Pasal 114 UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bila terjadi kecelakaan yang sangat jelas karena kelalaian pengendara yang tidak mendahulukan kereta api melintas, lebih tepat dinamakan kecelakaan jalan. Ada juga yang menyalahkan pintu pelintasan tidak ditutup sehingga terjadi kecelakaan di JPL. Sejatinya walau JPL tidak terpasang palang pintu atau tidak ada penjaga, pengendara harus tetap berkonsentrasi untuk lebih berhati-hati jika ada kereta api akan melintas.
Dalam UU tegas menyebutkan mendahulukan kereta api yang akan melintas, bukan berhenti di JPL karena palang pintu ditutup.
Logikanya, mengapa di lampu merah kendaraan tertib mau berhenti, sedangkan di JPL harus ada palang pintunya supaya kendaraan mau berhenti. Idealnya dengan adanya alarm/sirene ketika akan ada kereta api melintas, pengendara kendaraan bermotor berhenti seperti halnya di lampu merah di jalan raya. Terkadang kepala pemerintah daerah masih ada yang belum paham tentang siapa paling bertanggung jawab di JPL.
Ada beberapa pemerintah daerah yang masih mengganggap bahwa JPL adalah tanggung jawab pemerintah pusat karena moda kereta api (PT KAI ) adalah tanggung jawab/milik BUMN. Bahkan bila terjadi kecelakaan di JPL, antarlini sektoral ada kecenderungan saling menyalahkan. Terkadang PT KAI juga disalahkan. Padahal, KAI hanya penyelenggara sarana KA yang tidak punya lagi tanggung jawab di JPL. Memang semua lintas sektor bertanggung jawab atas JPL, tetapi harus ada yang “paling” bertanggung jawab di JPL. Pada UU No 23/2007 belum dibahas mendetail. Namun, persoalan ini dapat mengacu pada Permenhub PM No 94/2018 tentang Peningkatan Keselamatan Perlintasan Sebidang Antara Jalur Kereta Api Dengan Jalan.
Pada PM 94/2018 tersebut diuraikan di Pasal 2 ayat 1: Untuk menjamin keselamatan perjalanan kereta api dan keselamatan masyarakat pengguna Jalan, Perlintasan Sebidang yang telah beroperasi sebelum Peraturan Menteri ini berlaku dan belum dilengkapi dengan Peralatan Keselamatan Perlintasan Sebidang, harus dilakukan pengelolaan oleh: a. Menteri, untuk Jalan nasional; b. Gubernur, untuk Jalan provinsi; c. Bupati/Wali kota, untuk Jalan kabupaten/kota dan Jalan desa; dan d. Badan hukum atau lembaga, untuk Jalan khusus yang digunakan oleh badan hukum atau lembaga. Jadi jelas bahwa yang “paling” bertanggung jawab JPL (termasuk bila ada kecelakaan) ada pada pemerintah/pemerintah daerah sesuai kepemilikan kelas jalan yang terdapat JPL. Bila akses jalan ke permukiman atau industri mempunyai JPL, tentunya pengembang (developer) tersebut yang bertanggung jawab. (RMT)
View
0 Komentar